Sabtu, 26 Maret 2011

Minggu, 27 Maret 2011
Wajah Rindu


Kerinduan yang membeku dalam nadiku

Membuat kristal-kristal jiwaku semakin meruncing

Kini aku bagaikan bunga di musim dingin

Yang merindukan hangatnya matahari


Kala malam bergumam dengan sepi

Sungguh pelaknya rindu seakan ingin membunuhku

Kala jiwa t’lah terjajah kerinduan

Bercak duka kian jelas menapak dalam kalbu


Malam ini, aku merindukan senyum hangat dirimu

Tuk hiasi dingin hati yang membeku

Saat angan memadu dengan jiwa

Tersebak kasih di antara duka

oleh : Tri Yuni Setyorini

Sabtu, 26 Maret 2011



Helai Kepedihan

Gagap sayup sayat luka yang menganga

Muntahkan darah kepiluan

Dari kawah-kawah jiwaku

Mendera rongga hatiku

Helai kepedihan yang kaulambaikan

Sisakan seribu belaian derita dalam hidupku

Seutas tawa yang kautunjukkan

Hunuskan sengsara dalam batinku

Nanar hatiku menatap cintamu

Ketika sebilah kata menghujam kalbuku

Nyala cinta yang celotehkan ragu di hati

Kini t’lah temukan jawab dalam kecewa

oleh : Tri Yuni Setyorini


MAKALAH

PEMILIHAN BAHASA DALAM KAJIAN SOSIOLINGUISTIK


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh 1984: 4; Holmes 1993: 1; Hudson 1996: 2). Istilah sosiolinguistik itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam Kaya Haver Currie (dalam Dittmar 1976: 27) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran dengan status sosial. Disiplin ini mulai berkembang pada akhir tahun 60-an yang diujungtombaki oleh Committee on Sociolinguistics of the Social Science Research Council (1964) dan Research Committee on Sociolinguistics of the International Sociology Association (1967). Jurnal sosiolinguistik baru terbit pada awal tahun 70-an, yakni Language in Society (1972) dan International Journal of Sociology of Language (1974). Dari kenyataan itu dapat dimengerti bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang relatif baru.

Pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolingistik. Bahkan Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa sosiolionguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pemilihan bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat. Tidaklah ada bahasan tentang diglosia apabila tidak ada variasi tinggi dan rendah. Pada kenyataannya setiap bab dari buku sosiolinguistik karya Fasold (1984) memusatkan pada paparan tentang kemungkinan adanya pemilihan bahasa yang dilakukan masyarakat terhadap penggunaan variasi bahasa. Oleh karena itu, untuk memahami bagaimana pemilihan bahasa dalam kajian Sosiolinguistik, di sini akan dipaparkan mengenai pengertian pemilihan bahasa, faktor penanda pemilihan bahasa, dan pendekatan pemilihan bahasa.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian pemilihan bahasa?

2. Apasaja faktor penanda pemilihan bahasa?

3. Bagaimana pendekatan kajian pemilihan bahasa?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian pemilihan bahasa

2. Mengidentifikasi faktor penanda pemilihan bahasa

3. Mengetahui pendekatan kajian pemihan bahasa


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) tidak sesederhana yang kita bayangkan, yakni memilih sebuah bahasa secara keseluruhan dalam suatu peristiwa komunikasi. Kita membayangkan seseorang yang menguasai dua bahasa atau lebih harus memilih bahasa mana yang akan ia gunakan. Misalnya, seseorang yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia harus memilih salah satu di antara kedua bahasa itu ketika berbicara kepada orang lain dalam peristiwa komunikasi.

Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama. Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa kromo, maka ia telah melakukan pilihan bahasa kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode, artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode, artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.

Peristiwa perlaihan bahasa atau alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield (1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut Blom dan Gumperz (1972: 408-409) teradapat dua macam alih kode, yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode metaforis. Alih kode yang pertama terjadi kerana perubahan situasi dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metofora yang melambangkan identiti penutur.

Campur kode (code mixing) merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur Jawa yang diteliti ini juga terdapat gejala ini. Gejala seperti ini cenderug mendekati pengertian yang dikemukakan oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 113) disebut mix-mix atau halu-halu atau Taglish untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris. Di Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.


B. Faktor Penanda Pemilihan Bahasa

Pilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa/multibahasa disebabkan oleh berbagai faktor sosial dan budaya. Evin-Tripp mengidentifikaskan empat faktor utama sebagai penanda pilihan bahasa penutur dalam interkasi sosial, yaitu (1) latar (waktu dan tempat) dan situasi; (2) partisipan dalam interkasi, (3) topik percakapan, dan (4) fungsi interaksi. Faktor pertama dapat berupa hal-hal seperti makan pagi di lingkungan keluarga, rapat di keluarahan, selamat kelahiran di sebuah keluarga, kuliah, dan tawar menawar barang di pasar.

Faktor kedua mencakup hal-hal seperti usia, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial ekonomi, dan perannnya dalam hubungan dengan mitra tutur. Hubungan dengan mitra tutur dapat berupa hubungan akrab dan berjarak. Faktor ketiga dapat berupa topik tentang pekerjaan, keberhasilan anak, peristiwa-peristiwa aktual, dan topik harga barang di pasar. Faktor keempat berupa hal-hal seperti penawaran informasi, permohonan, kebiasaan rutin (salam, meminta maaf, atau mengucapkan terima kasih).

Senada dengan Evin-Tripp, Grosjean (1982: 136) berpendapat tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam pilihan bahasa. Menurut Grosjean terdapat empat faktor yang mempengaruhi pilihan bahasa dalam interaksi sosial, yaitu (1) partisipan, (2) situasi, (3) isi wacana, dan (4) fungsi interaksi.

Faktor situasi mengacu pada (1) lokasi atau latar, (2) kehadiran pembicara monolingual, (3) tingkat formalitas, dan (4) tingkat keakraban. Faktor isi mengisi wacana mengacu pada (1) topik pembicaraan, dan (2) tipe kosakata. Fatkor fungsi iteraksi mencakupi aspek (1) menaikan status, (2) penciptaan jarak sosial, (3) melarang masuk / mengeluarkan sesorang dari pembicaraan, dan (4) memerintah atau meminta.

Dari paran berbagai faktor di atas, yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak terdapat faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pilihan bahasa seseorang. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah faktor-faktor itu memiliki kedudukan yang sama pentingnya? Kajian penelitian pemilihan bahasa yang pernah dilakukan terdahulu diketahui bahwa umunya beberapa faktor menduduki kedudukan yang lebih penting daripada faktor lain. Di Obserwart, Gal (1982) menemukan bukti bahwa karakteristik penutur dan mitra tutur menduduki faktor yang penentu pilihan bahasa dalam masyarakat tersebut. Sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang penting daripada faktor partisipan.

Berbeda dengan Gal, Rubin (1982) menemukan faktor penentu yang terpenting adalah lokasi tempat berlangsungya peristiwa tutur. Dalam penelitiannya tentang pilihan bahasa Guarani dan Spanyol di Paraguay Rubin menyimpulkan bahwa lokasi interaksi yaitu (1) desa, (2) sekolah, dan (3) tempat umum sangat menentukan pilihan bahasa masyarakat. Di desa pembicara akan memilih bahaa Guarani, di sekolah akan memilih bahasa Spanyol, dan di tempat umum memilih bahasa Spanyol.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas mengenai faktor penanda pemilihan bahasa dapat disimpulkan bahwa faktor penanda pemilihan bahasa meliputi:

1. latar (waktu dan tempat),

2. situasi,

3. partisipan dalam interkasi,

4. topik percakapan (isi wacana),

5. fungsi interaksi.

C. Pendekatan Kajian Pemilihan Bahasa

Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh Fishman (1964). Ranah menurut Fishman merupakan konstalasi faktor lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan pula sebagai konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar-komunikator, dan tempat komunikasi di dalam keselarasan dengan pranata masyarakat dan merupakan bagian dari aktivitas masyarakat tutur (Fishman dalam Pride dan Holmes (eds) 1972). Di bagian lain Fishman (dalam Amon et al. (1987) mengemukakakan bahwa ranah adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Sebagai contoh, apabila penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, penutur itu dikatakan berada pada ranah keluarga. Pemilihan ranah dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Fishman.

Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih tertarik pada proses psikologis manusia daripada kategori dalam masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu seperti motivasi individu daripada berorientasi pada masyarakat. Karya-karya penting kajian pemilihan bahasa dengan pendekatan psikologi sosial telah dilakukan oleh Herman (1968), Giles et al. (1973), serta Bourhish dan Taylor (1977).

Herman (dalam Fasold 1984) mengemukakan teori situasi tumpang tindih yang mempengaruhi seseorang di dalam memilih bahasa. Situasi yang dimaksud adalah (1) kebutuhan personal (personal needs), (2) situasi latar belakang (background situation) dan (3) situasi sesaat (immediate situation). Dalam pemilihan bahasa salah satu situasi lebih dominan daripada situasi lain.

Giles (1977: 321-324) mengajukan teori akomodasi (accommodation theory). Menurut Giles terdapat dua arah akomodasi penutur dalam peristiwa tutur. Pertama, akomodasi ke atas yang terjadi apabila penutur menyesuaikan pemilihan bahasanya dengan pemilihan bahasa mitra tutur. Kedua, akomodasi ke bawah, yang terjadi apabila penutur menginginkan agar mitra tuturnya menyesuaikan dengan pemilihan bahasanya.

Pandangan Herman dan Giles tersebut mengimplikasikan adanya hubungan yang maknawi antara tingkat kondisi psikologis peserta tutur dan pemilihan bahasanya. Dengan demikian, untuk mengungkap permasalahan pemilihan bahasa perlu pula dilakukan kajian dari segi kondisi psikologis orang per orang dalam masyarakat tutur ketika mereka melakukan pemilihan bahasa atau ragam bahasa.

Seperti halnya pendekatan psikologi sosial, pendekatan antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa apabila psikologi sosial memandang dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang memilih bahasa untuk mengungkapkan nilai kebudayaan (Fasold 1984: 193). Dari segi metodologi kajian terdapat perbedaan antara pendekatan sosiologi, psikologi sosial, dan antropologi. Dua pendekatan pertama yang disebut lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner dan observasi atas subjek yang ditelitinya. Sementara itu, pendekatan yang ketiga menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol yang alamiah. Hal ini membimbing peneliti untuk menggunakan metode penelitian yang jarang digunakan oleh sosiologi dan psikologi sosial, yakni observasi terlibat (participant observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan hasilnya tahun 1979) di Oberwart, Australia Timur menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat.

Dengan menggunakan metode observasi terlibat ini antropolog dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok atau lebih yang dimasukinya selama mengadakan penelitian. Implikasi dari metode ini adalah bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang ditelitinya (Wiseman dan Aron 1970: 49). Kesesuaian pendekatan antropologi dengan penelitian ini terletak pada faktor kultural yang mempengaruhi pemilihan bahasa masyarakat tutur.



BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 180) yaitu memilih sebuah bahasa secara keseluruhan dalam suatu peristiwa komunikasi. Dalam pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching). Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing).

Faktor penanda pemilihan bahasa meliputi (1) latar (waktu dan tempat), (2) situasi, (3) partisipan dalam interkasi, (4) topik percakapan (isi wacana), (5) fungsi interaksi

Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi.


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolingustik Perkenalan Awal. Jakarta : PT Rineka Cipta

Fathurrokhman. 2009. Sosiolinguistik, Pemilihan Bahasa, dan Masyarakat Multilingual. http://fathur-linguistik.blogspot.com. Diunduh pada tanggal 12 Maret 2011.

Oleh : Tri Yuni Setyorini

Hari/tanggal : Sabtu, 26 Maret 2011



MAKALAH PRAGMATIK

PRINSIP, SKALA, DAN STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Percakapan merupakan interaksi verbal yang berlangsung secara tertib dan teratur yang melibatkan dua pihak atau lebih guna mencapai tujuan tertentu sebagai wujud peristiwa komunikasi. Interaksi bahasa antara pihak-pihak yang terlibat di dalam tindak berbahasa itu melibatkan unsur manusia dan unsur nonmanusia. Unsur pertama adalah penutur dan mitra tuturnya. Sementara itu, unsur yang kedua mencakupi tujuan dan aspek-aspek fisik yang berkenaan dengan ruanng dan waktu.

Penutur membangun komunikasi dengan baik terhadap mitra tutur bertujuan untuk menciptakan keharminisan berkomunikasi dengan mitra tutur. Pengemasan tuturan secara santun diharapkan tidak menyinggung perasaan mitra tutur katika dalam proses kegiatan komunikasi. Dalam situasi yang formal sudah menjadi kewajiban pemakai bahaa dalam beromunikasi untuk bersikap santun ketika berbahasa. Robin Lakoff (1990:34) menjalaskan bahwa kesantunan adalah suatu sistem hubungan antar manusia yang diciptakan untuk mempermudah hubungan dengan meminimalkan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manusia.

Dengan demikian perlu adanya prinsip, skala, dan strategi agar penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan baik dan kedua belah pihak saling menguntungkan tanpa ada kerugian yang dialami salah satu atau bahkan kedua belah pihak. Makalah ini akan mencoba memaparkan prinsip, skala, dan strategi kesantunan percakapan khususnya dalam kajian Pragmatik.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Prinsip Kesantunan

Prinsip kesantunan (politeness principle) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice 1991: 308). Alasan dicetuskannya prinsip kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerja sama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerja sama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama.

Ada beberapa ahli yang mengemukakan konsep kesantunan itu antara lain Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1993). Pandangan Lakoff (1972) dan Leech (1983) tentang konsep kesantunan dirumuskan di dalam prinsip kesantunan. Sementara itu, Fraser (1978) dan Brown dan Levinson (1978) merumuskan konsep kesantunannya itu di dalam teori kesantunan.

Prinsip kesantunan Lakoff (1972) berisi tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu santun. Ketiga kaidah itu adalah:

a. Kaidah Formalitas

Kaidah formalitas berarti jangan memaksa atau jangan angkuh. Konsekuensi kaidah ini adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuh adalah tuturan yang tidak atau kurang santun.

Contoh:

1) “Cepat bawa bukunya kemari, lama sekali!”

2) “Maaf, pintunya dibuka saja agar udaranya dapat masuk!”

Tuturan yang pertama bukan merupakan kaidah formalitas karena tuturan tersebut tidak santun dan angkuh. Sedangkan tuturan yang kedua merupakan kaidah formalitas karena pada tuturan kedua penutur menuturkan tuturan tersebut dengan santun dan menggunakan kata maaf pada saat menuturkan tuturan tersebut.

b. Kaidah Keidaktegasan

Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan.

Contoh:

• “Jika Anda tidak keberatan dan tidak sibuk, saya harap Anda bisa datang dalam acara peresmian gedung nanti sore!”

• “Jika ada waktu dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”

Kedua tuturan di atas merupakan tuturan yang termasuk dalam kaidah ketidaktegasan karena tuturan di atas adalah tuturan yang santun dan memberikan pilihan kepada mitra tuturnya untuk melakukannya atau tidak.

c. Kaidah Persamaan atau Kesekawanan

Makna kaidah ini adalah bahwa penutur hendaknya bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain buatlah mitra tutur merasa senang.

Contoh:

1) “Tulisanmu rapi sekali, hampir sama seperti tulisanku.”

2) “Tarianmu tadi sungguh memukau.”

3) “Mengapa nilai UKDBI-mu tetap jelek?”

Tuturan pertama dan kedua di atas merupakan tuturan yang memenuhi kaidah persamaan atau kesekawanan karena dalam tuturannya, penutur membuat mitra tutur merasa senang. Sedangkan, tuturan ketiga sebaliknya karena membuat mitra tuturnya tidak merasa senang.

Prinsip kesantunan Brown dan Levinson berkisar atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negative (Gunawan 1992: 18).

a. Muka Positif

Adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai.

Contoh:

(1) “Saya kagum melihat penampilanmu di atas panggung.”

(2) “Saya sangat puas dengan hasil kerjamu.”

(3) “sekarang belajar dengan tekun itu percuma.”

Tuturan (1) dan (2) santun karena menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya. Sebaliknya, karena tidak menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya, tuturan (3) dianggap tidak atau kurang santun.

b. Muka Negatif

Adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan cara penutur membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.

Contoh:

(1)“Silahkan jika Anda ingin merokok di sini.”

(2) “Jangan merokok di situ!”

Tuturan (1) tersebut santun karena penutur membiarkan mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang dikerjakannya. Sedangkan tuturan (2) tidak santun karena penutur tidak membiarkan mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang dikerjakan.

Berbeda dari Brown dan Levinson, prinsip kesantunan Leech (1983: 132) didasarkan pada kaidah-kaidah, yaitu bidal-bidal atau pepatah yang berisi nasihat yang harus dipatuhi agar tuturan penutur memenuhi prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan tersebut meliputi enam bidal beserta subbidalnya sebagai berikut

a) Bidal Ketimbangrasaan (tact maxim)

Setiap peserta petuturan meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dengan kata lain menurut maksim, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilakukan dengan baik.

Contoh:
• “Jika tidak keberatan, sudilah datang dalam acara nanti malam!”

Tuturan ini santun karena membutuhkan biaya yang besar bagi diri sendiri dan meminimalkan biaya kepada pihak lain sebagai mitra tutur serta keuntungan yang sebesar-besarnya bagi mitra tuturnya.

b) Bidal Kemurahatian (generosity maxim)

Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan dapat menghormati orang lain. Penghormatan ini dapat terjadi jika orang mengurangi keuntungan pada dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Tidak hanya dalam menyuruh atau menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tapi dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian.

Contoh:
• “Jangan, tidak usah! Biar saya saja yang membuka jendelanya.”

Tuturan di atas santun karena meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan kepada mitra tuturnya.

c) Bidal Keperkenanan/penerimaan (approbation maxim)

Diutarakan dengan kalimat komisif dan imprositif. Agar setiap penutur sedapat mungkin menghindari pernyataan yang tidak mengenakkan bagi orang lain, terutama kepada lawan tutur.

Contoh:

A : “Tarianmu bagus sekali.”

B : “Ah, tidak sebagus itu, Pak.”

Tuturan antara A dan B di atas santun karena tuturan A meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan memaksimalkan pujian kepeda pihak lain, yaitu mitra tuturnya. Dengan perkataan lain bahwa seseorang dianggap santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan pada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan peserta pertuturan tidak saling mengejek, dan saling merendahkan pihak lain.

d) Bidal Kerendahatian (modesty maxim)

Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif, bila kemurahan hati berpusat pada orang lain. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.

Contoh:

• “Saya juga masih dalam taraf belajar, Bu.”

Tuturan di atas santun karena meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan kepeda diri sendiri.

e) Bidal Kesetujuan (agreement maxim)

Contoh:

• “Saya setuju sekali dengan pendapat Anda.”

Tuturan di atas santun kerena merupakan jawaban dari tuturan mitra tuturnya yang meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan mitra tutur serta memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain.

f) Bidal Kesimpatian (symphaty maxim)

Jika lawan tutur mendapatkan suatu kesuksesan dan kebahagiaan penutur wajib mengungkapkan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan seusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya.

Contoh:

• “Saya sangat turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Adinda tercinta.”

Tuturan diatas santun karena meminimalkan antipati antara diri sendiri dengan mitra tutur dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dengan mitra tutur.

Tidak semua teori atau prinsip kesantunan diterapkan di dalam penelitian pragmatic. Dari teori atau prinsip kesantunan yang telah dipaparkan di atas, yang banyak digunakan untuk membahas kesantunan adalah teori kesantunan yang dikemukakan Leech dan teori kesantunan menurut Brown dan Levinson. Dasar pertimbanganonya adalah bahwa konsep kesantunan Brown dan Levinson merupakan teori kesantunan yang palilng mendalam (Gunawan 1992:14). Prinsip kesantunan Leech juga banyak digunakan di dalam pembahasan masalah kesantunan karena prinsip kesantunan yang berisi bidal-bidal dan dijabarkan ke dalam sub-subidal itu mudah diterapkan untuk mengidentifikasi kesantunan atau ketaksantunan suatu tuturan. Pelanggaran bidal prinsip kesantunan Leech menjadi indicator ketaksantunan atau kekurangsantunan suatu tuturan. Sebaliknya, pematuhan bidal-bidal itu merupakan indikator kesantunan suatu tuturan.

2. Skala Kesantunan

Adalah rentangan tingkatan untuk menentukan kesantunan suatu tuturan, semakin tinggi tingkatan di dalam skala kesantunan, semakin santunlah suatu tuturan.
Ada tiga macam skala yang dapat digunakan untuk mengukur atau menilai keasantunan suatu tuturan berkenan denghan bidal ketimbangrasaan prinsip kesantunan. Ketiga skala kesantunan itu adalah skala biaya-keuntungan, skala keoprasionalan, dan skala ketidaklangsungan (Leech 1983).

a. Skala Biaya – Keuntungan

Makna skala ini adalah semakin memberikan beban biaya (sosial) kepada mitra tutur semakin kurang santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin memberikan keuntungan kepada mitra tutur, semakin santunlah tuturan itu. Tuturan tang memberikan keuntungan kepada pentutur merupakan tuturan yang kurang santun. Sementara itu, tuturan yang membebani biaya (sosial) yang besar kepada penutur merupakan tuturan yang santun.

Contoh:

(1) “Tutup pintunya!”

(2) “Lihatlah film kesukaanmu sedang diputar!”

(3) “Silahkan dimakan kuenya!”

Berdasarkan contoh tuturan di dalam skala biaya-keuntungan itu dapatlah dinyatakan bahwa tuturan (1) merupakan tuturan yang paling kurang santun. Alasannya adalah tuturan itu memberikan keuntungan kepada penututur dan membebani mitra tuturnya. Biaya yang harus dikeluarkan mitra tuturnya berupa tenaga untuk malakukan tindakan menutup pintu dan biaya sosial yang berupa turunnya harga diri mitra tuturnya. Tuturan (3) adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan di atas. Hal itu terjadi karena tuturan ketiga memberikan keuntungan yang lebih kepada mitra tuturnya daripada tuturan yang lain. Tuturan itu juga sama sekali tidak membebani mitra tuturnya biaya. Sedangkan tuturan yang pertama, penutur memberikan beban kepada mitra tuturnya yang membuat tuturan tersebut tidak santun.

b. Skala Keopsionalan

Makna skala ini adalah semakin memberikan banyak pilihan kepada mitra tutur semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya semakin tidak memberikan tindakan kepada mitra tutur, semakin kurang santunlah tuturan itu.

Contoh:
• “Ambillah surat yang tertinggal di kantor!”

• “Jika ada waktu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”

• “Jika ada waktu dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal, itu jika kamu mau dan tidak berkeberatan!”

Tuturan ketiga adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan tersebut. Hal itu terjadi karena tuturan ketiga memberikan pilihan di dalam jumlah yang paling banyak diantara tuturan pertama dan kedua.

c. Skala Ketidaklangsungan

Skala ketidaklangsungan menyangkut ketidaklangsungan tuturan. Makna skala ini adalah semakin tak langsung, semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin langsung semakin kurang santunlah tuturan itu.

Contoh:
• “Coba ceritakan kronologis kejadiannya!”

• “Bersediakah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”

• “Keberatankah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”

Tuturan ketiga adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan itu. Hal itu terjadi karena tuturan itu lebih tak langsung dibandingkan dengan tuturan lainnya. Jarak tempuh daya ilokusioner dan tujuan ilokusionernya juga paling panjang.

3. Srategi Kesantunan

Ada lima strategi kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan Brown dan Levinson (1978) yang dapat dipilih agar tuturan penutur itu santun. Kelima strategi itu adalah:

a. Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip kerja sama Grice;

b. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif;

c. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif;

d. Melakukan tindak tutur secara off records;

e. Tidak melakukan tindak tutur atau diam saja.

Pemilihan srategi itu bergantung pada besar kecilnya ancaman terhadap muka. Makin kecil ancaman terhadap muka makin kecil nomor pilihan strateginya dan makin besar ancaman terhadap muka makin besar pula nomor pilihan strategi bertuturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Luthfiatin, Ida. 2009. Skripsi-Kesantunan Berbahasa. http://kesantunanberbahasa. wordpress. com/bab-i-pendahuluan/. Diunduh pada tanggal 25 Maret 2011.

Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.

Tanpa nama. http://repository.upi. edu/ operator/upload/s_c0151_056419_chapter2.pdf. Diunduh 25 Maret 2011.

Zaman, Saefu. 2010. Prinsip, Skala, dan Strategi Kesantunan. http://www. saefuzaman. web. id/2010/12/pragmatik. html. Diunduh 25 Maret 2011.