Oleh : Tri Yuni Setyorini
Hari/tanggal : Sabtu, 26 Maret 2011
MAKALAH PRAGMATIK
PRINSIP, SKALA, DAN STRATEGI KESANTUNAN BERBAHASA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Percakapan merupakan interaksi verbal yang berlangsung secara tertib dan teratur yang melibatkan dua pihak atau lebih guna mencapai tujuan tertentu sebagai wujud peristiwa komunikasi. Interaksi bahasa antara pihak-pihak yang terlibat di dalam tindak berbahasa itu melibatkan unsur manusia dan unsur nonmanusia. Unsur pertama adalah penutur dan mitra tuturnya. Sementara itu, unsur yang kedua mencakupi tujuan dan aspek-aspek fisik yang berkenaan dengan ruanng dan waktu.
Penutur membangun komunikasi dengan baik terhadap mitra tutur bertujuan untuk menciptakan keharminisan berkomunikasi dengan mitra tutur. Pengemasan tuturan secara santun diharapkan tidak menyinggung perasaan mitra tutur katika dalam proses kegiatan komunikasi. Dalam situasi yang formal sudah menjadi kewajiban pemakai bahaa dalam beromunikasi untuk bersikap santun ketika berbahasa. Robin Lakoff (1990:34) menjalaskan bahwa kesantunan adalah suatu sistem hubungan antar manusia yang diciptakan untuk mempermudah hubungan dengan meminimalkan potensi konflik dan perlawanan yang melekat dalam segala kegiatan manusia.
Dengan demikian perlu adanya prinsip, skala, dan strategi agar penutur dan mitra tutur dapat berkomunikasi dengan baik dan kedua belah pihak saling menguntungkan tanpa ada kerugian yang dialami salah satu atau bahkan kedua belah pihak. Makalah ini akan mencoba memaparkan prinsip, skala, dan strategi kesantunan percakapan khususnya dalam kajian Pragmatik.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan (politeness principle) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice 1991: 308). Alasan dicetuskannya prinsip kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerja sama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi prinsip kerja sama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama.
Ada beberapa ahli yang mengemukakan konsep kesantunan itu antara lain Lakoff (1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1993). Pandangan Lakoff (1972) dan Leech (1983) tentang konsep kesantunan dirumuskan di dalam prinsip kesantunan. Sementara itu, Fraser (1978) dan Brown dan Levinson (1978) merumuskan konsep kesantunannya itu di dalam teori kesantunan.
Prinsip kesantunan Lakoff (1972) berisi tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu santun. Ketiga kaidah itu adalah:
a. Kaidah Formalitas
Kaidah formalitas berarti jangan memaksa atau jangan angkuh. Konsekuensi kaidah ini adalah bahwa tuturan yang memaksa dan angkuh adalah tuturan yang tidak atau kurang santun.
Contoh:
1) “Cepat bawa bukunya kemari, lama sekali!”
2) “Maaf, pintunya dibuka saja agar udaranya dapat masuk!”
Tuturan yang pertama bukan merupakan kaidah formalitas karena tuturan tersebut tidak santun dan angkuh. Sedangkan tuturan yang kedua merupakan kaidah formalitas karena pada tuturan kedua penutur menuturkan tuturan tersebut dengan santun dan menggunakan kata maaf pada saat menuturkan tuturan tersebut.
b. Kaidah Keidaktegasan
Kaidah ketidaktegasan berisi saran bahwa penutur hendaknya bertutur sedemikian rupa sehingga mitra tuturnya dapat menentukan pilihan.
Contoh:
• “Jika Anda tidak keberatan dan tidak sibuk, saya harap Anda bisa datang dalam acara peresmian gedung nanti sore!”
• “Jika ada waktu dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”
Kedua tuturan di atas merupakan tuturan yang termasuk dalam kaidah ketidaktegasan karena tuturan di atas adalah tuturan yang santun dan memberikan pilihan kepada mitra tuturnya untuk melakukannya atau tidak.
c. Kaidah Persamaan atau Kesekawanan
Makna kaidah ini adalah bahwa penutur hendaknya bertindak seolah-olah mitra tuturnya itu sama, atau dengan kata lain buatlah mitra tutur merasa senang.
Contoh:
1) “Tulisanmu rapi sekali, hampir sama seperti tulisanku.”
2) “Tarianmu tadi sungguh memukau.”
3) “Mengapa nilai UKDBI-mu tetap jelek?”
Tuturan pertama dan kedua di atas merupakan tuturan yang memenuhi kaidah persamaan atau kesekawanan karena dalam tuturannya, penutur membuat mitra tutur merasa senang. Sedangkan, tuturan ketiga sebaliknya karena membuat mitra tuturnya tidak merasa senang.
Prinsip kesantunan Brown dan Levinson berkisar atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negative (Gunawan 1992: 18).
a. Muka Positif
Adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya diakui orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai.
Contoh:
(1) “Saya kagum melihat penampilanmu di atas panggung.”
(2) “Saya sangat puas dengan hasil kerjamu.”
(3) “sekarang belajar dengan tekun itu percuma.”
Tuturan (1) dan (2) santun karena menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya. Sebaliknya, karena tidak menghargai apa yang dilakukan mitra tuturnya, tuturan (3) dianggap tidak atau kurang santun.
b. Muka Negatif
Adalah muka yang mengacu kepada citra diri orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan cara penutur membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Contoh:
(1)“Silahkan jika Anda ingin merokok di sini.”
(2) “Jangan merokok di situ!”
Tuturan (1) tersebut santun karena penutur membiarkan mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang dikerjakannya. Sedangkan tuturan (2) tidak santun karena penutur tidak membiarkan mitra tuturnya bebas melakukan apa yang sedang dikerjakan.
Berbeda dari Brown dan Levinson, prinsip kesantunan Leech (1983: 132) didasarkan pada kaidah-kaidah, yaitu bidal-bidal atau pepatah yang berisi nasihat yang harus dipatuhi agar tuturan penutur memenuhi prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan tersebut meliputi enam bidal beserta subbidalnya sebagai berikut
a) Bidal Ketimbangrasaan (tact maxim)
Setiap peserta petuturan meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dengan kata lain menurut maksim, kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila maksim kebijaksanaan dilakukan dengan baik.
Contoh:
• “Jika tidak keberatan, sudilah datang dalam acara nanti malam!”
Tuturan ini santun karena membutuhkan biaya yang besar bagi diri sendiri dan meminimalkan biaya kepada pihak lain sebagai mitra tutur serta keuntungan yang sebesar-besarnya bagi mitra tuturnya.
b) Bidal Kemurahatian (generosity maxim)
Dengan maksim kemurahan ini, para peserta pertuturan dapat menghormati orang lain. Penghormatan ini dapat terjadi jika orang mengurangi keuntungan pada dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan orang lain. Tidak hanya dalam menyuruh atau menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku santun, tapi dalam mengungkapkan perasaan dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berperilaku demikian.
Contoh:
• “Jangan, tidak usah! Biar saya saja yang membuka jendelanya.”
Tuturan di atas santun karena meminimalkan keuntungan kepada diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan kepada mitra tuturnya.
c) Bidal Keperkenanan/penerimaan (approbation maxim)
Diutarakan dengan kalimat komisif dan imprositif. Agar setiap penutur sedapat mungkin menghindari pernyataan yang tidak mengenakkan bagi orang lain, terutama kepada lawan tutur.
Contoh:
A : “Tarianmu bagus sekali.”
B : “Ah, tidak sebagus itu, Pak.”
Tuturan antara A dan B di atas santun karena tuturan A meminimalkan penjelekan kepada pihak lain dan memaksimalkan pujian kepeda pihak lain, yaitu mitra tuturnya. Dengan perkataan lain bahwa seseorang dianggap santun dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan pada orang lain. Dengan maksim ini, diharapkan peserta pertuturan tidak saling mengejek, dan saling merendahkan pihak lain.
d) Bidal Kerendahatian (modesty maxim)
Diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif, bila kemurahan hati berpusat pada orang lain. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Contoh:
• “Saya juga masih dalam taraf belajar, Bu.”
Tuturan di atas santun karena meminimalkan pujian kepada diri sendiri dan memaksimalkan penjelekan kepeda diri sendiri.
e) Bidal Kesetujuan (agreement maxim)
Contoh:
• “Saya setuju sekali dengan pendapat Anda.”
Tuturan di atas santun kerena merupakan jawaban dari tuturan mitra tuturnya yang meminimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dan mitra tutur serta memaksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dan pihak lain.
f) Bidal Kesimpatian (symphaty maxim)
Jika lawan tutur mendapatkan suatu kesuksesan dan kebahagiaan penutur wajib mengungkapkan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan seusahan atau musibah, penutur layak berduka cita, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya.
Contoh:
• “Saya sangat turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Adinda tercinta.”
Tuturan diatas santun karena meminimalkan antipati antara diri sendiri dengan mitra tutur dan memaksimalkan simpati antara diri sendiri dengan mitra tutur.
Tidak semua teori atau prinsip kesantunan diterapkan di dalam penelitian pragmatic. Dari teori atau prinsip kesantunan yang telah dipaparkan di atas, yang banyak digunakan untuk membahas kesantunan adalah teori kesantunan yang dikemukakan Leech dan teori kesantunan menurut Brown dan Levinson. Dasar pertimbanganonya adalah bahwa konsep kesantunan Brown dan Levinson merupakan teori kesantunan yang palilng mendalam (Gunawan 1992:14). Prinsip kesantunan Leech juga banyak digunakan di dalam pembahasan masalah kesantunan karena prinsip kesantunan yang berisi bidal-bidal dan dijabarkan ke dalam sub-subidal itu mudah diterapkan untuk mengidentifikasi kesantunan atau ketaksantunan suatu tuturan. Pelanggaran bidal prinsip kesantunan Leech menjadi indicator ketaksantunan atau kekurangsantunan suatu tuturan. Sebaliknya, pematuhan bidal-bidal itu merupakan indikator kesantunan suatu tuturan.
2. Skala Kesantunan
Adalah rentangan tingkatan untuk menentukan kesantunan suatu tuturan, semakin tinggi tingkatan di dalam skala kesantunan, semakin santunlah suatu tuturan.
Ada tiga macam skala yang dapat digunakan untuk mengukur atau menilai keasantunan suatu tuturan berkenan denghan bidal ketimbangrasaan prinsip kesantunan. Ketiga skala kesantunan itu adalah skala biaya-keuntungan, skala keoprasionalan, dan skala ketidaklangsungan (Leech 1983).
a. Skala Biaya – Keuntungan
Makna skala ini adalah semakin memberikan beban biaya (sosial) kepada mitra tutur semakin kurang santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin memberikan keuntungan kepada mitra tutur, semakin santunlah tuturan itu. Tuturan tang memberikan keuntungan kepada pentutur merupakan tuturan yang kurang santun. Sementara itu, tuturan yang membebani biaya (sosial) yang besar kepada penutur merupakan tuturan yang santun.
Contoh:
(1) “Tutup pintunya!”
(2) “Lihatlah film kesukaanmu sedang diputar!”
(3) “Silahkan dimakan kuenya!”
Berdasarkan contoh tuturan di dalam skala biaya-keuntungan itu dapatlah dinyatakan bahwa tuturan (1) merupakan tuturan yang paling kurang santun. Alasannya adalah tuturan itu memberikan keuntungan kepada penututur dan membebani mitra tuturnya. Biaya yang harus dikeluarkan mitra tuturnya berupa tenaga untuk malakukan tindakan menutup pintu dan biaya sosial yang berupa turunnya harga diri mitra tuturnya. Tuturan (3) adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan di atas. Hal itu terjadi karena tuturan ketiga memberikan keuntungan yang lebih kepada mitra tuturnya daripada tuturan yang lain. Tuturan itu juga sama sekali tidak membebani mitra tuturnya biaya. Sedangkan tuturan yang pertama, penutur memberikan beban kepada mitra tuturnya yang membuat tuturan tersebut tidak santun.
b. Skala Keopsionalan
Makna skala ini adalah semakin memberikan banyak pilihan kepada mitra tutur semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya semakin tidak memberikan tindakan kepada mitra tutur, semakin kurang santunlah tuturan itu.
Contoh:
• “Ambillah surat yang tertinggal di kantor!”
• “Jika ada waktu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”
• “Jika ada waktu dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal, itu jika kamu mau dan tidak berkeberatan!”
Tuturan ketiga adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan tersebut. Hal itu terjadi karena tuturan ketiga memberikan pilihan di dalam jumlah yang paling banyak diantara tuturan pertama dan kedua.
c. Skala Ketidaklangsungan
Skala ketidaklangsungan menyangkut ketidaklangsungan tuturan. Makna skala ini adalah semakin tak langsung, semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin langsung semakin kurang santunlah tuturan itu.
Contoh:
• “Coba ceritakan kronologis kejadiannya!”
• “Bersediakah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”
• “Keberatankah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”
Tuturan ketiga adalah tuturan yang paling santun di antara ketiga tuturan itu. Hal itu terjadi karena tuturan itu lebih tak langsung dibandingkan dengan tuturan lainnya. Jarak tempuh daya ilokusioner dan tujuan ilokusionernya juga paling panjang.
3. Srategi Kesantunan
Ada lima strategi kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan Brown dan Levinson (1978) yang dapat dipilih agar tuturan penutur itu santun. Kelima strategi itu adalah:
a. Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip kerja sama Grice;
b. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif;
c. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif;
d. Melakukan tindak tutur secara off records;
e. Tidak melakukan tindak tutur atau diam saja.
Pemilihan srategi itu bergantung pada besar kecilnya ancaman terhadap muka. Makin kecil ancaman terhadap muka makin kecil nomor pilihan strateginya dan makin besar ancaman terhadap muka makin besar pula nomor pilihan strategi bertuturnya.
DAFTAR PUSTAKA
Luthfiatin, Ida. 2009. Skripsi-Kesantunan Berbahasa. http://kesantunanberbahasa. wordpress. com/bab-i-pendahuluan/. Diunduh pada tanggal 25 Maret 2011.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
Tanpa nama. http://repository.upi. edu/ operator/upload/s_c0151_056419_chapter2.pdf. Diunduh 25 Maret 2011.
Zaman, Saefu. 2010. Prinsip, Skala, dan Strategi Kesantunan. http://www. saefuzaman. web. id/2010/12/pragmatik. html. Diunduh 25 Maret 2011.
0 komentar:
Posting Komentar